Membaca sejarah perkembangan ekonomi Korea Selatan lagi-lagi membuat saya memberi respect pada orang Korea. Tahun 1950-an, Korea dinobatkan sebagai peringkat kedua “most heavily bombed country in history”, hancur rata. Namun mereka hanya butuh satu generasi untuk menjadi Korea yang kita kenak saat ini. Again, they deserve my respect.
Pemerintah Indonesia pun memiliki problem yang sama : hutang luar negeri yang besar.
Indonesia memang tak lagi memiliki hutang mencekik ala IMF, namun saat ini pemerintah masih menanggung beban utang merupakan dampak krisis ekonomi 1997 dan 1998, yang menghasilkan BLBI dan rekapitalisasi perbankan. Jumlahnya terus bergulir, bunga berbunga. Jika tak mampu bayar, pemerintah melakukan refinancing sehingga jatuh tempo lebih panjang dan bunga lebih rendah. Tapi tetap jumlahnya tidak berkurang secara signifikan (Nurul Qomariyah Pramisti, tirto.id). Sementara masyarakat terus menerus menuding pemerintah berhutang untuk kepnetingan penguasa semata.
Namun pertanyaannya : bisakah model patungan semacam orang Korea itu diterapkan di Indonesia?
Dalam kasus Korea, mereka memiliki social consensus yang kuat. Social consensus secara bebas bararti kesepakatan sosial.
Masyarakat Korea adalah masyarakat yang homogen. Mereka memiliki wilayah yang kecil dengan bahasa yang sama. Akar budaya konfusian membuat masyarakat Korea memiliki budaya menghargai satu sama lain dan konflik akibat SARA minim sekali terjadi. Itulah yang membuat social consensus masyarakat begitu kuat.
Konsdisi yang berkebalikan dialami Indonesia. Indonesia adalah negara kepulauan dengan banyak suku yang sangat heterogen. Pun akar kepercayaan masyarakat Indonesia amat beragam : Animisme, Dinamisme, Hindu, Buddha, Islam, Kristen. Ditambah luasnya wilayah Indonesia (dibanding Korea), saya pesimis Indonesia dapat mencapai social consensus. Saya tidak tahu.
Selain itu, Korea memiliki tetangga-tetangga yang superior : Jepamg, Rusia, dan China. Hal ini membuat sense of emergency orang Korea cukup tinggi yang turut membuat social consensus mereka kuat.
Lagi-lagi kondisi berkebalikan terjadi di indonesia. Indonesia termasuk negara yang powerful di kawasan ASEAN, bahkan pada zaman Orde Lama dan Orde Baru sempat mendapat gelar Macan Asia. Kondisi tersebut, menurut saya, justru membuat orang Indonesia seperti di-nina bobo-kan. Hal tersebut, sebagaimana juga saya rasakan, membuat sense of emergency orang Indonesia rendah. Maka sulit rasanya menumbuhkan social consensus yang mencakup seluruh mastrakat Indomesia.
Maka, bisakah model patungan semacam orang Korea diterapkan di Indonesia?
Jawabannya : mungkin bisa, munhkin juga tidak. Semua tergantung pada masyarakat Indonesia. Yang saya tahu, perubahan berasal dari bawah, dari tiap individu : diri kita masing-masing.